Minggu, 15 Agustus 2010

Budaya 'Urang Awak' Terkurung di Luar


       Biasanya Segerombolan remaja 'ABG'  meramaikan jalanan kota itu penuh dengan gelak tawa. Tampak penampilan para gadis yang lebih 'Pretty Women ' dari pada Julia Roberts. Terkadang mengalahkan penampilan selebritis. Tak lupa menggenggam sebotol minuman kaleng bermerek terkenal. Musik dan nyanyian bernuansa barat pun seringkali membubui kebersamaan mereka. Itulah gambaran suasana Kota Bukittinggi sekarang ini.
        Keadaan di atas sangat berbeda sekali dengan suasana Alam minang Kabau beberapa tahun atau puluh tahun dulu. Yang Penulis kenal kental adat dan agamanya. Dahulu, kaum Ibu 'Bundo Kanduang' dan anak gadis merasa terhormat memakai 'Baju Kurung'. Canda tawa di tengah jalan merupakan 'aib bagi kaum perempuan di kampong Urang awak' ini.  Apalagi kalau sampai makan sambil berjalan. Bahkan seorang Dara ranah minang merasa malu kalau keluar rumah dan bertemu dengan kaum laki-laki .
       Bahkan Dr. Zed mestika mensinyalir bahwa " Orang minang terkurung diluar" Jelas dosen UNP Padang ini ketika meluncurkan buku bertajuk sejarah masa depan'. Yang mana orang minang menjadi tawanan dirinya sendiri.
        Hal ini juga seirama dengan tanggapan Taufik Abdullah, " hening yang hiruk pikuk" ungkapnya. 
       Nah, sekarang kenapa keadaan bisa berbalik seperti itu ? Kenapa budaya materialisme dan hedonisme 'barat' mampu mengeliminasi budaya Minang Kabau? Sesungguhnya sangatlah kurang elok rasanya mengkritik sikap keseharian suku sendiri. Bukankah itu bagai menepuk air di kolam akan tepercik muka sendiri? Tetapi ini adalah kenyataan dari kultur minang kontemporer yang merosot.
       Menurut Dr. Zed Mestika sendiri ketika ditanya oleh harian Republika, bahwa kondisi ini terjadi karena Tradisi Intelektual minang semakin hari semakin merosot dan tumpul. Hal ini juga karena Masyarakat yang tidak konsisten dengan kultural yang dibangun pendahulunya.
        Pernah Penulis menyimak komentar diantara teman-teman remaja 'ABG' itu berargumen begini " Kita kan masih remaja! Memang masanya seperti itu!", atau seperti ini " Ih… kuno tau! Masak jaman udah maju begini masih bergaya seperti Ibuk-ibuk rumah tangga!", atau alasan yang lebih menggelikan lagi " Biaya beli pakaiannya lebih murah dan gampang mencucinya!" , atau biasa juga kedengaran " Agar lebih menarik dan lebih percaya diri gitu!" (Padahal kalau di bis sering terlihat para wanita yang berpakaian kurang sopan selalu risih). Dan banyak lagi komentar-komentaryang seiyrama lainnya.
       Tampaknya saya dapat menarik benang merah dari seluruh komentar tersebut bahwa kebudayaan telah merosot. Termasuk kebudayaan 'Urang awak' telah berdebu dan terlupakan. Orang minang mengurung budayanya sendiri. Bahkan adat-istadat mulai meredup satu persatu. Pepatah orang minang " Adat bersandi syara', syara' bersandi kitabullah" itu pun tidak memiliki peran lagi. Hanya tinggal sebagai penghias tutur kata. Hanya popular di sekolah-sekolah. Di dalam pelajaran Khusus 'Kebudayaan Alam Minang Kabau' (KAM). Yang diajarkan pada murid-murid Sekolah dasar dan sekolah menengah setiap minggunya. Sementara pengaruh dan realisasinya sangat minim sekali.
        Memang benar kalau pelajaran " Kebudayaan Alam Minang Kabau telah digalakkan kembali. Terutama di sekolah- sekolah dasar. Tetapi pada kenyataannya budaya tidak lain hanyalah warisan  dari tradisi pemegang adapt dahulu. Titipan dari nenek moyang saja. Diantara mereka banyak yang tidak mengenal, memahami kebudayaanya sendiri. Terbukti kebanyakan dari masyarakat minang yang sangat awam dengan istilah-istilah adat, seni kebudayaan, dan tradisi lainnya. Atau bahkan tidak menyukainya sama sekali.
        Sebagai contohnya, saya perhatikan dari persoalan pakaian. Baju-baju kurung hanya dipakai oleh kaum ibu 'Bundo kanduang'. Itupun kalau ada acara-acara adapt. Seperti pesta pernikahan, khitanan dan acara adapt lainnya. Sedangkan untuk bepergian sehari-hari tidak seperti itu. Lebih-lebih lagi para anak gadis yang beranjak dewasa. Mereka bahkan hamper tidak memiliki baju kurung seperti layaknya seorang perempuan minang yang sopan. Malahan blus ketat dengan celana jeans atau dipadu dengan rok mini hampir menjadi kesukaan mereka.
        Budaya memakai ' Baju kurung ' menghilang, karena lemahnya kekuatan agama. Sehinga pengaruh buruk yang datang dari luar mudah meresap. Bahkan banyak yang menirunya mentah-mentah, tanpa penyeleksian. Padahal dengan penampilan mereka yang seperti itulah , orang yang ada penyakit di dalam hatinya untuk mengganggu mereka.
        Selain itu orang tua juga sangat kurang dalam mengontrol prilaku keseharian Anak-anak mereka. Maka pengaruh yang jelek tidak tidak terinfiltrasi lagi. Baik itu melalui media televise, pergaulan sehari-hari, lingkungan ataupun dari majalah-majalah remaja.
        Dengan mudahnya masuk kebudayaan asin yang tidak baik, maka kebudayaan asli pun akan redup satu persatu. Mulai dari pakaian, makanan tradisional, kesenian daerah, etika pergaulan sampai upacara pernikahan.
        Dari segi makanan misalnya, anak-anak muda lebih menyukai untuk membawa minuman kaleng bermerek trend dari pada bajigur atau air cincau. Mereka lebih menyukai untuk mengkonsumsi makanan-makanan luar dari pada makanan tradisional. Apalagi kalau meminta mereka untuk memasak makanan tradisional, seperti rendang, gulai, dan lain-lain. Mungkin hanya segelintir mereka yang menyanggupi hal tersebut.
        Adapun dari segi kesenian daerah juga mengalami hal yang sama. Artinya masyarakat pada umumnya kurang menyukai kesenian daerah. Apalagi dari golonga remaja. Hanya sedikit sekali masyarakat yang masih menyukai kesenian ' Randai'. Padahal  dalam 'Randai ' itu sarat sekali dengan nilai-nilai etika berbicara, tatakrama pergaulan, adat dan agama.
        Sebaliknya, masyarakat terutama para anak-anak muda lebih mengandrungi musik-musik 'barat' bergaya keras atau lagu-lagu rock yang menghentak-hentak. Tak jarang musik-musik tersebut menghingar-bingarkan suasana berbagai macam acara anak-anak muda. Bahkan pedagang kaset kaki lima pun turut mengungkapkan kalau kaset-kaset yang berbau kebudayaan daerah hanya menjad pengisi setia dagangan mereka. Dengan artian kurang laku di pasaran
        Menurut Penulis, masyarakat yang menukar kebudayaan aslinya dengan kebudayaan asing berarti tidak mampu mempertahankan kebudayaan nasional. Karena Kebudayaan tercakup dari asset-aset kebudayaan daerah. Dan asset daerah itu sendirilah yang memperkaya asset Negara. Sangat betul kata para pakar budayawan kalau kebudayaan nasinal tidak akan terwujud tanpa adanya keberagaman dari kebudayaan daerah. Sangat rugi sekali kalau masyarakat tersebut meninggalkan kebudayaan daerah yang sejalan dengan ajaran agama.
        Jadi, pada hakekatnya, masyarakat minang adalah bagian dari komponen bangsa Indonesia. Minang bagian dari masyarakat muslim universal, secepatnya bersedia berbenah diri, melihat kekurangan kelemahan dan berkaca diri. Kemudian bulatkan tekad untuk mengadakan perubahan menuju pencerahan lahir batin.
        Masyarakat Minang semestinya mampu memelihara kebudayaaan daerahnya. Baik itu yang menyangkut tata karma, etika berpakaian, tingkah laku, dan lain-lain. Sebab majunya sebuah Negara tampak dari masyarakat yang ada di Negara itu sendiri. Jikalau masyarakat tersebut menjunjung tinggi nilai-nilai kebudayaan dengan baik, maka dengan sendirinya akan memupuk kemajuan bangsa. Terlebih lagi untuk menghindari adanya keprihatinan social.
        Sekarang, apakah kita akan memlih masyarakat yang berkebudayaan tinggi dan maju? Ataukah memilih masyarakat yang mudah terpengaruh oleh budaya asing yang buruk dan terpuruk? Pepetah-petitih di kalangan pemuka adat yang padat makna, tidak boleh hanya singgah sebagai penghias tutur kata, tetapi harus dimaknai dengan sungguh-sungguh.
         Akhirnya, saya menyimpulkan bahwa Tiap-tiap bagian dari kebudayaan 'urang Awak' khususnya mengalami kemerosotan. Menurut saya pembekalan agama sangatlah penting sebagai pondasi kebudayaan itu. Dan saya setuju dengan pendapat Dr. Zed Mestika kalau kebudayaan dapat dibangun lagi dengan memperbaiki bidang intelektual. Sebab hanya dengan ilmulahlah orang bisa mengenal agama. Dan hanya agamalah yang mampu membedakan yang kebudayaan yang pantas dan tidak pantas. Baik itu pergaulan, etika berpakaian, tata krama dan seluruh aspek kebudayaan. Kembali ke Surau berarti kembali kepada akar kultur kita yang islami.  
        

Tidak ada komentar:

Posting Komentar