Minggu, 15 Agustus 2010

Kalau Bulan Terkubur

Petir melengking, memekik, membelah-belah langit. Halilintar menyambar saling berjawab-jawaban. Anginpun mempermainkan hujan yang turun. Dan kristal bening itupun terus menitik dari mata yang tampak cekung, karena tidak terpicing hampir sepanjang malam
Lelaki itu masih terus berkomat kamit membaca sesuatu. Lembaran mushaf yang tergenggam erat di tangannya mulai basah oleh air matanya.
Dua jam sudah! lelaki muda itu masih duduk di ruang tunggu. Rumah sakit masih sunyi. Hanya beberapa orang perawat yang bertugas malam sesekali bolak balik kekamar pasien. Tiba-tiba terdengar suara tapak sepatu melangkah cepat. Diikutinya dengan pendengaran dan dikejarnya dengan pandangan. Ternyata Mamaknya Angku Patih bersama istrinya Makdang Una.
"Angku patih, makdang?" Halim tersenyum, mencoba  menyembunyikan keresahannya dengan baik.
"Maaf Angku, , jadi ndak sempat menghubungi Angku dulu!" Nanar Halim menatap kakak laki-laki dari almarhumah ibunya. Ia menjadi merasa bersalah pada mamaknya itu. Mamak yang telah menggantikan peran orang tuanya semenjak ia masih SD dulu. Mamak yang membiayai pendidikannya hingga memperoleh Majister dari universitas Al-Azhar Kairo.
"Menelpon sebentar apa salahnya sih? Huhhh…! Tidak menghargai sedikitpun!!!" Dengus Mak dang Una tidak ramah. Paras perempuan separoh baya itu semakin keruh. Seperti biasanya.
'Ya Allah lunakkan hatinya. Seandainya perempuan itu pernah melahirkan…' Batin Halim berapologi dalam kediaman yang mengiriskan. Ia katupkan matanya rapat-rapat, membangun kesabaran.

***
"Oak…oak…"Lengkingan tangis bayi menyentakkan Halim dari lamunannya.
"Keluarga bapak Halim Al Jauri!" Sambut seorang Dokter perempuan berkacamata minus. Rahim refleksi berdiri. Kegembiraan itu telah menawarkan keresahannya yang kering.
"Selamat, Anda telah menjadi bapak! Istri anda selamat !" Ibu dokter itu tersenyum tipis "Tapi,…" Dokter itu tampak ragu melanjutkan kata-katanya."Nnn… bayi anda terlahir kurang sempurna, kornea matanya tidak berfungsi," Bisik ibu dokter itu merasa menyesal.
" Apa?!Buta?!" Mata Mak dang Una membesar." Keluarga kita akan malu menerima bayi buta itu!" perempuan separoh baya itu mengangkat bibirnya secara tidak proporsional, melukis seringai bermuatan ejekan.
Halim mengela nafas perlahan. Berusaha untuk bersabar. Tak ingin aristokrasi kewibawaannya ternodai. Tak ingin meracuni kendali dirinya.
' Skenario-Mu sempurna. Skenario-Mu tak dapat kami tebak' batin Halim yakin.
" Tenang Bu!!" Sesal Angku patih pada istrinya.
" Uda sih! Terlalu memanjakan kemenakan, merestui pernikahannya dengan gadis jawa itu!" Sentak makdang Una dengan suara tinggi.
"Lhah? Jodoh itu bukan di tangan kita Bu!"
"Ya, bisa! Kalau kita  memaksanya !"
"Astaghfirullah…Istghfar buk!Ini karunia !!!"
"Karunia?!Uda senang punya cucu cacat???"
"Kita saja tidak bisa punya anak!" celetuk Angku patiah seadanya membuat makdang Una semakin menggertakkan giginya kesal.
Halim hanya  diam dalam resah yang dibawanya. Ada getar miris yang memaksanya untukmeneteskan air mata. " Bukankah manusia itu Engkau nilai dari ketakwaanya?Aku redha Islam menjadi agamaku… aku reda dengan segala ketentuanMu…"
***
Entah kenapa sudah sejak dulu ia tidak disukai. Apalagi semenjak Halim pulang dari Kairo dengan istrinya yang aneh menurut makdang Una. Kata istri mamaknya itu, Retno tidak menghargai adat istiadat orang minang. Apalagi ketika sepupu laki-laki makdang Una bertamu ke rumah. Perempuan berjilbab rapi itu enggan bersalaman. Ia hanya mengatupkan kedua telapak tangannya yang didekatkan ke dada.
Pernah juga makdang Una mencak-mencak di depan Halim. Pasalnya Retno sungkan mengenakan pakaian dan jilbab trend dengan ukuran yang pasti mengundang keprihatinan sosial. Apalagi disuruh berdandan semenor Julia Robert si 'Pretty Woman'. Akhirnya Retno di maki-maki. Katanya tidak pantas menjadi istri kemenakan dari seorang Ninik Mamak yang terkenal di Pariaman. Apalagi seorang magister dari Azhar, yang kalau di Pariaman calon suami harus dibeli sesuai dengan kedudukannya.
"Adat bersandi syara', syara' bersandi kitabullah Angku! Bukankah dalam Islam tidak ada budaya seperti itu?" jelas Halim pada mamaknya yang juga tidak setuju dengan tradisi itu.
' Ya Rahman… ujianmu amat besar, Jangan gelincirkan kami dari petunjukMu…' batinnya.
***
"Ceraikan saja istrimu itu Lim !" Mak dang Una kembali mencak-mencak di tengah rumah sambilmeratap.
'Deg' Halim terkesiap. Bagai menghadapi titian rambut dibelah tujuh baginya.
" Sabar… makdang!"
"Perempuan jawa itu pembunuh! Dia pembunuh!" Ratap makdang una memukul-mukul lantai rumah. Dia berteriak sejadi-jadinya. Sementara para tetangga semakin ramai melayat ke rumah. Lautan jilbab hitam memenuhi ruangan kalut itu. Para Ninik mamak , alim ulama, kaum cerdik pandai telah duduk bersila.
Langit sudah berubah warna. Walaupun maghrib belum sepenuhnya mengubur senja. Jenazah Angku Patih masih terbujur disudut rumah.  Di luar rumah suara binatang malam mulai kedengaran.
"Pembunuhhh…! Kau pembunuhhh..!!!" kali ini perempuan setengah baya itu berteriak keras. Orang-orang yang melayat menjadi takut dengan lakunya.
"Tenang makdang… istigfar! Sudah kehendak Yang Kuasa …,"suara parau Rahim menenangkan makdangnya.
"Istrimu… gara-gara istrimu!" Ratap makdang Una semakin menjadi.
"Istigfar makdang…ini takdir Ilahi!  bukan salah Retno!Bukankah ajal itu akan datang juga walaupun kita di rumah saja?" Seorang Ustadzah berusaha menenangkan.
"Tapi dialah malapetakanya! Suami saya sehat-sehat saja, kalau tidak pergi ke Bali itu tidak…," Makdang Una menunjuk-nunjuk wajah Retno dengan kasar. Retno hanya tertunduk dalam dukanya yang menganga. 'Sudah jatuh di timpa tangga pula' . baru pagi tadi selesai pemakaman jasad keluarganya yang hangus kena sasaran bom, sekarang ia pun dibantai dengan makian .
Memang akhir September kemaren Retno ke Bali ditemani suaminya. Angku Patiah pun semangat ingin ikut. Katanya ingin bersilaturrahmi dengan keluarga Retno yang baru pindah ke pulau Dewata itu.
'Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih' Retno terperangah mendapati rumahnya amblas ,hangus, hancur berkeping-keping. Tak percaya kalau orang tuanya, adik kakaknya dan Angku Patiah ikut jadi korban perbuatan keji itu. Hanya Retno beserta suaminya yang selamat. Ya di selamatkan Allah melalui  bayi buta mereka.  Suhu badannya memanas hinga malam itu harus di larikan ke rumah sakit.
"Pembunuhhh…!!!" Teriak makdang Una menyentakkan Halim dari memorinya..
"Retno… kau harus menebus nyawa suamiku !!!" Makdang Una tiba-tiba menusukkan gunting yang terletak di dekat perlengkapan kain kafan, kapas kearah Retno. Seketika darah berlumuran. Orang-orang yang melayat berlarian keluar. Takut kena sasaran. Takut dipanggil menjadi saksi di kantor polisi.
"Hahaha…haha…" Makdang Una tertawa lepas.
***
" Tidakkk…!!!" Halim berteriak sejadi-jadinya. Seisi rumah tergopoh-gopoh mendekati tempat tidur Halim.
" Ada apa Lim?" pertanyaan serempak dari Angku Patiah, Makdang Una, dan Bahri sepupunya yang masih ingusan.
"Bayi!Bayi…!!!" Gugup Halim masih ngantuk.
"Bukan! Bahli udah becal Bang! Udah cekolah Tk ! Bahli bukan bayi lagi…" rengek Bahri tiba-tiba bercampur dengan suara cadalnya.
"Istri!Istri…!!!" Halim masih mengigau "Istriku mati dibunuh! Tidakkk…!!!"
"Kamu mimpi Lim! Makanya jangan suka tidur senja!! Tuh kan Kamu  harus segera menikah " Angku Patiah menepuk  pundak Halim.
"Lha ?! kuliah Bang Lahim kan beyum celecai-celecai!"celetuk Bahri berlagak dewasa.
"Angku Patiah?!" Tanya Halim aneh sambil meraba-raba wajah angku Patiah. Ia masih dibawa suasana mimpinya.
"He'eh… ada yang aneh ? " Tanya Angku Patiah heran dengan keanehan ponakannya. Kali ini tampak serius.
" Ng….ng…nggak kok , Cuma pangling dengan janggut Angku yang baru!!" Canda Halim menghilangkan kekikukkan dan rasa malunya.
"Oooo…Ayo kita ifthar ! sebentar lagi magrib lho…!"" Angku Patiah tersenyum grogi dibuatnya. Halim memang mahir mengalihkan suasana. Kesegaran tampak di aura wajahnya, bersyukur kalau Mamak dan Makdangnya adalah orang yang ikhlas, kental islamnya. Bersyukur kalau Bulan tak jadi terkubur.
Sekilas wajah lucu Bahri bermain dipelupuk matanya. Wajah itu mengingatkannya untuk segera balik ke Kairo. Tidak hanya do'a tapi juga butuh perjuangan yang sungguh. Bukankah Allah tidak pernah menzhalimi hambanya? Bukan salah Tuhan kalau ia belum naik-naik juga.
"Bang Lim! Bahli mau dibikinin jenggot!" Mendadak Bahri merengek , minta dibikinin jenggot.
"Hahhh?!" Semuanya saling berpandangan.

Kairo, 8 Oktober 2005
Buah pena : Novi Rizviani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar